![]() |
Suasana DPTalk |
Suatu hari, saya melihat status teman di Facebook yang
mengatakan bahwa anaknya tidak bisa berhenti main games di internet. Alhasil, pulsa modemnya bolak-balik habis. Lain
hari, saya membaca status teman yang mengatakan bahwa teman anaknya
membuka-buka situs porno via smartphone.
Astagfirullah!
Sebenarnya, bagaimana, sih, menerapkan internet sehat kepada anak? Anak-anak saya memang belum memiliki akun sendiri di media sosial. Faruq baru
berumur 10 tahun, Shafiyya 5 tahun, dan Sulthan 3 tahun. Menurut Undang-Undang
Perlindungan Privasi Online Anak di Amerika Serikat, usia untuk memiliki akun
di media sosial adalah 13 tahun. Memang, sebagian teman Faruq sudah ada yang
memilikinya. Saya pribadi belum mengizinkan Faruq. Alhamdulillah, anak-anak saya juga tidak addicted main games. Istilahnya, main games
sekadar lewat.
Maka, ketika Dari Perempuan mengadakan talkshow (DPTalk) berjudul Dampak Trend
Mobile Internet pada Anak, saya langsung tertarik untuk mendaftar. Dari
Perempuan adalah sebuah website yang
mengulik segala sesuatu tentang perempuan, mulai dari fashion & beauty, life & health, love & relationship, sampai
news & activity. Website ini sebenarnya bukan hanya
ditujukan untuk perempuan, melainkan juga pria agar lebih mengetahui dan
memahami kebutuhan perempuan. Acara yang berlokasi di 11/15 Coffee di daerah
Gandaria, Jakarta (5/7) ini diminati banyak peserta dari kalangan orangtua.
Terbukti peserta yang hadir rata-rata sudah memiliki anak.
Moderator Utami Utar mengawali acara dengan menyebutkan
profil masing-masing pembicara. Pembicara pertama adalah Shita Laksmi. Beliau
merupakan ibu dari dua orang anak perempuan, pengamat media development, serta parenting. Shita menjelaskan langkah-langkah pengenalan
internet pada anak. Beliau mengatakan bahwa berdasarkan riset Unicef tahun
2012, penggunaan PC sangat rendah dibandingkan penggunaan technology mobile dan social
networking. Apalagi, remaja di Indonesia. Mereka lebih senang mengakses
internet via mobile daripada PC.
Sementara itu, internet platform didominasi oleh platform Barat seperti
Facebook, Twitter, dan Google.
![]() |
Shita Laksmi |
Shita menekankan peran perempuan (ibu) dalam mengatasi
dampak trend mobile internet pada
anak. Internet bukanlah hak, melainkan kemewahan untuk anak. Perkuat konsep
diri anak bahwa internet digunakan untuk menjaring hal-hal positif saja.
Kemudian, ajari anak untuk menghargai pentingnya data pribadi. Saya setuju
sekali dengan pendapat Shita agar orangtua selalu mengajak anak berdiskusi soal
sisi positif dan negatif internet. Jangan serta-merta melarang, tanpa
memberikan penjelasan.
Sesi berikutnya dilanjutkan oleh pembicara kedua, yakni Elga Yulwardian. Beliau adalah Departement Head Digital Media Partnership and
Activation PT. Indosat, Tbk. Pada presentasinya, Elga menyampaikan fakta
sebagai berikut:
58% anak berumur 2-5 tahun tahu cara bermain games.
Anak yang bisa browsing internet ada sebanyak 25%, sementara anak yang bisa berenang tanpa dibantu sebanyak 20%.
2 kali dari jumlah anak-anak berumur 2-5 tahun bisa bermain smartphone seolah-olah mereka mengikat tali sepatu mereka sendiri.
Anak berumur 3 tahun lebih mahir bermain games komputer daripada mengendarai sepeda.
2/3 dari jumlah anak dapat mengoperasikan mouse komputer.
Kesimpulannya, anak-anak
kita adalah Generasi Z! Bahkan, lebih daripada itu, sebanyak 10% bayi berusia
0-1 tahun, 39% anak berusia 2-4 tahun, dan 52% anak berusia 5-8 tahun sudah bisa main iPad atau video iPod. Padahal, The American Academy of Pediatrics
menyarankan orangtua menunda pemberian gadget
sampai anak berusia 2 tahun.
![]() |
Elga Yulwardian |
Kapan waktu yang paling tepat untuk memperkenalkan gadget kepada anak? Berikut teori Tahap Bermain dari Mildred Parten.
1. Solitary play
Bermain sendiri dimulai dari masa bayi. Mereka mulai mencari tahu lingkungan sekitar, menemukan serta belajar hal-hal baru. Ini terus berlanjut sampai batita. Mereka mungkin bermain di dekat orang lain, tapi mereka bermain sendiri dengan mainannya.
2. Parallel play
Anak bermain di ruangan yang sama dengan temannya, bermain dengan mainan yang sama, saling mengamati, dan meniru satu sama lain, tapi mereka tidak berinteraksi.
3. Associative play
Pada usia 3-4 tahun, anak bermain bersama, tapi mereka tidak bermain dalam aktivitas yang terstruktur. Mereka belum bisa bekerja sama dalam melakukan sesuatu.
4. Cooperative play
Anak usia 4-5 tahun kematangan emosi dan perkembangan sosialnya mulai baik. Mereka bisa bekerja sama waktu bermain, bisa saling berinteraksi, menghargai milik orang lain, minta izin jika menggunakan barang orang lain, tapi mereka tidak saling berinteraksi.
Oiya, saya tertarik sekali dengan penjelasan Elga mengenai XO Laptop. Proyek One Laptop Per Child (OLPC) adalah sebuah program penyediaan XO Laptop (terhubung dengan koneksi internet) untuk anak umur 5 tahun ke atas di seluruh dunia. OLPC disuport oleh One Laptop per Child Association (OLPCA) dan OLPC Foundation, dua organisasi nonprofit Amerika yang mengawasi pembuatan peralatan pendidikan dengan harga terjangkau, khususnya untuk negara berkembang. Diharapkan anak mendapatkan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan melalui laptop ini. Harganya relatif murah, yakni sekitar $100. Layar LCD-nya diberi perlindungan luar dari bahan karet. XO Laptop sangat nyaman dipakai oleh anak. Penggagasnya adalah Nicholas Negroponte, profesor bidang teknologi komputer asal Amerika. Wah, kapan anak-anak Indonesia bisa mendapatkan laptop murah dengan konten bagus seperti ini, ya?
1. Solitary play
Bermain sendiri dimulai dari masa bayi. Mereka mulai mencari tahu lingkungan sekitar, menemukan serta belajar hal-hal baru. Ini terus berlanjut sampai batita. Mereka mungkin bermain di dekat orang lain, tapi mereka bermain sendiri dengan mainannya.
2. Parallel play
Anak bermain di ruangan yang sama dengan temannya, bermain dengan mainan yang sama, saling mengamati, dan meniru satu sama lain, tapi mereka tidak berinteraksi.
3. Associative play
Pada usia 3-4 tahun, anak bermain bersama, tapi mereka tidak bermain dalam aktivitas yang terstruktur. Mereka belum bisa bekerja sama dalam melakukan sesuatu.
4. Cooperative play
Anak usia 4-5 tahun kematangan emosi dan perkembangan sosialnya mulai baik. Mereka bisa bekerja sama waktu bermain, bisa saling berinteraksi, menghargai milik orang lain, minta izin jika menggunakan barang orang lain, tapi mereka tidak saling berinteraksi.
Oiya, saya tertarik sekali dengan penjelasan Elga mengenai XO Laptop. Proyek One Laptop Per Child (OLPC) adalah sebuah program penyediaan XO Laptop (terhubung dengan koneksi internet) untuk anak umur 5 tahun ke atas di seluruh dunia. OLPC disuport oleh One Laptop per Child Association (OLPCA) dan OLPC Foundation, dua organisasi nonprofit Amerika yang mengawasi pembuatan peralatan pendidikan dengan harga terjangkau, khususnya untuk negara berkembang. Diharapkan anak mendapatkan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan melalui laptop ini. Harganya relatif murah, yakni sekitar $100. Layar LCD-nya diberi perlindungan luar dari bahan karet. XO Laptop sangat nyaman dipakai oleh anak. Penggagasnya adalah Nicholas Negroponte, profesor bidang teknologi komputer asal Amerika. Wah, kapan anak-anak Indonesia bisa mendapatkan laptop murah dengan konten bagus seperti ini, ya?
![]() |
Foto dari slide presentasi Elga Yulwardian |
DPTalk membuka wawasan saya tentang pentingnya internet sehat untuk anak. Seandainya anak-anak saya sudah cukup umur untuk
memiliki akun media sosial, saya akan
menerapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Jangan paranoid dengan dunia maya
Sebagian orang berpendapat bahwa anak zaman sekarang lebih cepat belajar
teknologi dibandingkan orangtuanya. Hal ini sudah saya buktikan sendiri.
Contoh, Faruqlah yang mengaktifkan modem wifi yang saya punya. Sebelumnya,
modem wifi itu tidak saya gunakan karena saya malas mengutak-atiknya. Faruq juga memberi
tahu bahwa dia bisa mengunduh games
dari internet. Padahal, saya sama sekali tidak mengajarinya. Semenjak itu, saya
menyadari, sebagai orangtua, saya tidak boleh menyerah begitu saja dengan
pendapat itu. Teknologi jangan malah membuat saya paranoid. Tidak bisa
dihindari, dunia maya akan menjadi bagian dari aktivitas anak. Mau tak mau saya
harus terlibat di dalamnya.
2. Sesuaikan gadget dengan kebutuhan anak
Sekarang ini Faruq sudah memiliki smartphone.
Hanya, saya memang tidak mengaktifkan fasilitas internetnya. Smartphone itu antara lain digunakan untuk
menelepon, SMS, dan mengunduh surah-surah Alquran dari internet. Faruq hanya
bisa memakai internet saat berada di rumah, di bawah pengawasan saya dan suami.
Wifi cuma tersedia di ruang keluarga. Jadi, setiap dia akan mengunduh apa pun,
saya pasti tahu. Kebetulan, Faruq termasuk auditory
learner, yakni anak yang belajar dengan sistem audio (mendengar). Dia
senang sekali belajar bahasa Arab dan menghafal surah-surah Alquran. Berbekal smartphone, dia bisa belajar di mana
saja dan kapan saja, tinggal memutar ulang rekaman yang ada di smartphone-nya.
![]() |
Smartphone Faruq |
3. Berteman dengan anak di dunia maya
Jika anak memiliki akun media sosial, sebaiknya orangtua menjadi friend anak atau saling follow. Namun, hindari terlalu ikut
campur dengan aktivitas anak di akunnya tersebut. Misal, memarahi terang-terangan ketika anak menulis status Facebook yang menurut kita
kurang pantas. Jangan sampai twitwar dengan
anak. Jika anak merasa dikekang dan dipermalukan di dunia maya, kita bakal sulit
memantau aktivitasnya. Kelak, ini menjadi problem. Cukup nasihati anak dan ajak
bicara baik-baik seandainya dia melakukan hal-hal yang kurang pantas. Beri like atau retweet jika dia menulis status yang baik. Tidak perlu langsung
berkomentar ekstrem dan blakblakan. Dengan begitu, anak akan merasa dihargai.
![]() |
Foto dari slide presentasi Elga Yulwardian |
4. Beri limit waktu
Menurut hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal kedokteran Disease in Childhood, terlalu lama
melihat layar monitor gadget, dapat
meningkatkan tekanan darah. Orang yang cenderung diam bermain gadget, risiko obesitasnya juga
meningkat. Biar bagaimanapun, anak butuh bergerak untuk tumbuh kembangnya. Beri
limit waktu berselancar di dunia maya. Jika demikian, orangtua juga harus
menjadi teladan. Tidak mungkin anak patuh kalau anak melihat orangtuanya
terus-menerus asyik dengan gadget masing-masing.
5. Tidak menyebarkan biodata pribadi
Mengizinkan anak beraktivitas di dunia maya dan memiliki akun media sosial,
sebenarnya setali tiga uang dengan melepas anak ke jalan, di mana ada kemungkinan orang-orang
jahat yang berniat mencelakai anak. Di dunia maya juga ada orang yang bisa saja
menipu soal status, umur, serta pekerjaan. Jadi, anak tidak boleh
sembarangan memberikan biodata pribadi melalui dunia maya.
6. Periksa chat history
Jika anak senang chatting,
ingatkan agar tidak chatting dengan
orang yang belum dikenal betul. Chatting
di dunia maya sama saja etikanya seperti mengobrol dengan orang lain
di dunia nyata. Sebagai orangtua, sebaiknya kita menyimpan chat history anak. Sekali-sekala periksa chat history ini.
7. Waspadai pornografi
Saya pernah mendengar tentang anak-anak yang menyimpan konten
porno di smartphone mereka. Inilah
salah satu risiko dunia maya. Ajak anak berdiskusi soal ini. Beri penjelasan
yang lebih bersifat ilmiah (misalnya, menyangkut anatomi tubuh dan fungsinya).
Orangtua juga bisa mengatur aplikasi di gadget berdasarkan umur. Games juga memiliki kans
menyebarkan virus pornografi, meskipun cuma dalam bentuk kartun. Sebaliknya, sebagai
orangtua, saya sendiri tidak pernah mengumbar foto anak dalam keadaan polos di dunia maya. Berhati-hatilah dengan kasus pedofil yang mengintai anak.
8. Antisipasi cyberbullying
Beberapa waktu lalu saya membaca berita di media digital tentang anak-anak
yang bunuh diri karena cyberbullying.
Sungguh mengenaskan. Anak-anak tersebut mengalami stres tingkat tinggi dan
memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan seperti itu. Masalahnya sepele, seperti penampilan anak diejek oleh teman-temannya di dunia maya. Jika anak menjadi korban, segera arahkan agar tidak
meladeni si pelaku. Tinggalkan percakapan dan block akun pelaku. Screenshot
bukti-bukti jika perlu.
9. Beraktivitas outdoor
Saya selalu mengajak anak-anak untuk beraktivitas outdoor seperti berkebun, berenang,
dan lain-lain. Kadang-kadang kami berlibur ke gunung atau pantai. Beraktivitas
seperti ini menambah energi dan asupan serotonin di dalam otak. Serotonin
adalah hormon yang mengatur nafsu makan, pemahaman akan sesuatu, dan stabilitas
emosi. Selain itu, hidup butuh keseimbangan. Salah satunya tidak boleh
berlebihan.
10. Hindari menulis status check-in!
Beri pengertian kepada anak agar tidak menulis status check-in di Facebook, Foursquare, dan lain-lain. Status ini
bisa membahayakan karena memudahkan aksi para penculik untuk mengetahui ke mana
saja anak pergi. Simak betapa lihainya para penculik men-stalking akun di media sosial melalui video ini.
11. Ajak anak berempati
Last but not least, empati. Bagi saya, poin terakhir ini merupakan poin terpenting. Dunia maya
adalah aktivitas sosial dalam bentuk baru. Pahami kebutuhan friends Facebook atau followers Twitter kita. Jangan bicara
dan bersikap sesuka hati. Beri bantuan jika ada yang membutuhkan. Tentu membantu
semampu anak, seperti me-retweet tweet orang-orang yang dipercaya untuk
menyebarkan maksud baik. Dulu kita butuh waktu lama untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan
ke sebuah tempat. Sekarang, dengan memanfaatkan Twitter, misalnya, informasi bisa
menjangkau banyak orang dan bantuan sampai dalam waktu cepat. Teknologi
merobohkan tembok penghalang manusia berkomunikasi dan berkomunitas.
Keamanan anak ada dalam genggaman orangtua. Yuk, mari menjadi orangtua digital yang cerdas. Berikan
pemahaman dan pengawasan internet sehat kepada anak sejak dini. [] Haya Aliya Zaki
Seperti biasanya deh Mak, salut danb acungin jempol. Salam sukses selalu :)
BalasHapusMakasih, Mak. Sukses juga buatmu. :)
HapusKereeennn...semoga aku juga jadi ortu yang cerdas :*
BalasHapusSip. Tantangan bagi kita sebagai orangtua di era digital ya, Cha. :)
Hapusanak2 zaman skrg umur 2 tahun aja udah akrab dengan games :)
BalasHapusIya, Mak. Bahkan, anak di bawah umur itu juga udah akrab dengan games, ya.
Hapuswah jadi nambah wawasan anak nih, buat generasi z nanti
BalasHapusMakasih dah mampir. :)
HapusSetuju mbak... anak2 jangan terlalu "terbuka" di dunia maya demi keselamatan mereka.
BalasHapusIya, Mbak. Setuju. Terima kasih sudah mampir. :)
HapusSetuju dengan tidak membuatkan fb pada anak mak.... kemarin sih sempet buatin tapi udah deaktif mak :)
BalasHapusKalau ada manfaat, mungkin enggak apa-apa, Mak. Tapi, aku belum melihat ada manfaatnya. Jadi, aku bilang nanti dulu ke anakku. :)
Hapusditampung sebagai bahan ajar anak yang masih belum diberi olehNya
BalasHapuskarena saya dan suami maniak gadget, harus banyak paham soal ini :) TFS mak...
Makasih juga udah mampir, Mak. Semoga berguna. :)
Hapussetuju Maks, anakku sering autis gak peduli ama yang lain saat dia main games di ipad-nya. Jadinya sering-sering aku ajak main ke luar rumah dan bertemu dengan anak-anak yang lain.
BalasHapusAssal seimbang enggak apa-apa ya, Mak. Main games-nya jangan berlebihan. *mendadak sok jadi pakar* xixixi *guling-guling*
Hapusmiris liat temen2nya jav (2-3 thn) pd fasih main games di gadget ortunya.. jav jg ga bisa lepas sih dr gadget saya, tp untungnya cuman buat denger lagu anak & bacaan al-quran..
BalasHapusAlhamdulillah, keren, Mak. :D
HapusMak Mentor, kl sy parno bgt kl anak dikasih gadget. Kyk kmrn waktu anak sy minta dibelikan smartphone, sy lgsg menolaknya. Dia blg, "Mama aja punya bebe, masa aku ngga". Dan akhirnya sy memilih ikutan tdk berbebe. Sy lbh siap tdk b'bebe, krn sy blm siap menjawab p'tnyan/akibat kl anak b'gadget. Diblg ga gaul deh...Salah ga?
BalasHapusKalau menurut hemat aku, sekarang zaman digital, Mak. Sedikit banyak, anak pasti bersentuhan dengan gadget atau dunia maya. Penjelasan dari kita dibutuhkan supaya anak tidak penasaran terus. kalau tidak, khawatirnya anak mencari penjelasan dari luar dan yang memberi penjelaan bukan orang baik-baik pula. Mungkin kalau sudah cukup umur, bisa, Mak. Btw, Maaakkk ini diskusi, lho, ya. Soale aku, kan, bukan pakar. :)))))
HapusMantap dan keran ulasannya mak Haya. Tambah ilmu nih sebagai ibu dengan anak yang juga menyukai games :)
BalasHapusAlhamdulillah, semoga manfaat, Mak. Sekadar sharing ini. :)
HapusUwaahh... iya yah, ngena banget status cek in itu, ngeri culik euy. thanks sharingnya mak Haya
BalasHapusIya, Mak. Kalau aku sendiri, sih, suka nulis status check-in. X_X
Hapuskereennn
BalasHapusMakasih, Ria. :*
HapusWah, komplit ulasannya :)
BalasHapusAnak2 sy br sebatas main game aja, itu jg cuma wiken n dijatah ga boleh lama2, hehe
Aih, anak2nya manis2, deh, Mak Guru Haya :)
Makasih, Mak. Anak kita memang keren-keren, ya. :))))
HapusAlhamdulillah anak saya tidak maniak pada alat2 digital seperti itu. Dia lebih senang bergerak aktif daripada duduk monoton bermain alat2 digital.
BalasHapusSip. Anak-anakku juga kadang main games, tapi enggak candu, Mak. Buat selingan aja. :)
Hapusseharusnya pemerintah buat satu program untuk membatasi anak2 dalam membuka situs porno. kalau di jerman, setiap Hp anak2 di haruskan bagi orang tua untuk memasang satu program, yang mana program ini sebagai pengaman agar anak-anak tidak membuka web yang di luar batas umur mereka.
BalasHapusMakasih sharingnya, Mak. Iya, mestinya begitu, ya. Setuju. Menurut penelitian, pornografi lebih berbahaya daripada narkoba karena merusak 5 bagian dari otak, sementara narkoba merusak 3 bagian dari otak.
HapusInfonya membantu, bersyukur di rumah terpasang Speedy dah 3 tahun, tetapi alhamdulillah anak dah kelas IX SMP, belum punya akun FB, n hanya punya HP lipat Samsung GT-E1195.
BalasHapusSalam sukses selalu
Terima kasih sudah mampir. Salam kenal. Semoga bermanfaat. :)
Hapusmak ijin share ya...penting nih buat teman-teman yang lain...
BalasHapustulisa yang sangat bagus dan sangat bermanfaat, terimakasih sharingnya..
BalasHapusmakasih sharingnya mba haya, bermanfaat banget, alde dan nai kusuruh main outdoor...
BalasHapuswehhh bermanfaat sekali nih buat adek sma keponakan2 hhhee
BalasHapusterima kasih banyak untuk ilmunya ya bunda :D
Wah.. Tulisan lama yg bermnafaat banget buat saya, Mak. Secara anak saya 5,5 tahun juga seneng main games di smartphone. Makasih sharing ilmunya ya, Mak :)
BalasHapusIni yang belum bisa direm, Mbk. Anakku masih suka games yang ada di hp. Saat liburan di Bengkulu duluj 24 jam pakai Wifi di rumah kakak, pulang ke Padang kena dampaknya deh :(
BalasHapusSetuju banget sama sampean mbak :) jadi orang tua kalau bisa harus selalu lebih pintar dari anak :D biar kalau anak tanya kita selalu bisa jawab
BalasHapus