“Kalau
kamu ingin mengetahui apakah sahabatmu adalah sahabat sejati atau tidak,
ajaklah dia ke gunung.” – anonim
Saya pernah membaca pepatah
ini di sebuah majalah (nama majalahnya saya lupa). Setidaknya, menurut saya,
pepatah ini ada benarnya. Lika-liku perjalanan untuk sampai ke puncak gunung pasti
penuh dengan cerita yang amat sangat memungkinkan untuk mengeluarkan karakter
asli seseorang. Kemampuan seseorang untuk menjaga imej, sepertinya mustahil.
Pesan utama inilah yang saya tangkap dari film Laura & Marsha.
Laura dan Marsha sudah
bersahabat sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Meski bersahabat, keduanya
memiliki karakter yang bertolak belakang. Laura, yang diperankan oleh Prisia
Nasution (Pia), adalah seorang agen travel. Dia single parent yang serbateratur, sistematis, dan serius. Marsha,
yang diperankan oleh Adinia Wirasti (Asti) adalah seorang penulis buku
traveling yang ceria, spontan, dan pencinta kebebasan.
Suatu hari, Marsha mengajak
Laura traveling ke Eropa dalam rangka mengenang dua tahun kepergian mendiang ibunya.
Laura menolak mentah-mentah. Sejak menjadi single
parent empat tahun yang lalu, Laura tidak pernah terpikir sama sekali untuk
traveling dan meninggalkan putri tunggalnya, Luna, sampai berhari-hari. Namun,
Marsha tetap bersikeras mengajak Laura menjadi travelmate-nya.
“Hidup, tuh, singkat banget, La. Kematian bisa dateng kapan aja dan gue
enggak mau mati sebelum mewujudkan mimpi gue.” Untuk yang kesekian kalinya
Marsha memohon.
Akhirnya, Laura mengalah. Dia bersedia menemani Marsha traveling ke Eropa. Bisa dibayangkan, Laura begitu detail mempersiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatan. Semua diperhitungkan benar-benar. Demikian pula nanti sesampainya di Eropa. Apa-apa saja yang akan dilakukan selama dua minggu di sana, dia buat dalam bentuk poin-poin dan dicatat cermat di agenda. Sementara, bisa dibayangkan pula, Marsha adalah backpacker’s traveller dengan semangat let’s get lost-nya! Olala!
![]() |
Marsha |
Kekacauan demi kekacauan
terjadi selama Laura dan Marsha menjelajahi Belanda, Jerman, Austria, serta Italia.
Mulai dari soal bangun kesiangan sampai cekcok waktu bayar bill. Puncaknya, ketika Marsha dengan seenaknya mengajak bule
bernama Finn menumpang mobil mereka. Gara-gara Finn, Laura dan Marsha tersesat!
Laura dan Marsha bertengkar
hebat. Persahabatan mereka diuji dalam perjalanan. Persahabatan yang terbina
sejak SMA ini, ternyata tidak menjadi jaminan mereka saling terbuka satu sama
lain. Di Verona, Italia, semua rahasia terungkap. Termasuk misi tersembunyi
Laura mengiyakan ajakan Marsha ke Eropa. Bagaimana nasib persahabatan mereka? Asli, adegan pertengkaran mereka mengaduk-aduk
emosi saya. Bikin mbrebes mili ....
Saya memberikan nilai 3,5
bintang untuk film Laura & Marsha.
Film yang memanjakan mata penonton dengan tampilan aneka view Eropa yang indah. Film semi dokumenter besutan Dinna Jasanti
ini menghabiskan masa syuting 3 hari di Indonesia dan 20 hari di Eropa.
Meski merupakan debut pertama Dinna sebagai sutradara, hasilnya cukup gemilang. Sebelumnya, Dinna yang terlibat sebagai produser film Karma (2008), Under the Tree (2008), dan The Land of Towers (2011) pernah meraih penghargaan film, di antaranya penghargaan Bali International Film Festival Special Appreciation Award 2006 untuk film pendek Paper Cranes dan Script Development Fund dari Hubert Bals di Jakarta International Film Festival untuk film Opa's Letters.
![]() |
Saya dan sutradara Dinna Jasanti |
Dan, apalah artinya sebuah film tanpa skenario yang kuat. Bravo untuk Titien Wattimena. Quote menarik bertabur di sepanjang film. Oiya, saya juga ingin memberikan standing ovation untuk akting Pia dan
Asti. Yang saya dengar, di kehidupan nyata, karakter mereka kebalikan dari film berdurasi 107 menit ini. Pia memiliki karakter Marsha, sementara Asti memiliki karakter
Laura. Pendalaman akting yang hebat. Tidak heran, Pia adalah peraih Piala Citra
2011 sebagai Pemeran Wanita Terbaik (film Sang
Penari) dan Asti peraih Piala Citra 2005 sebagai Pemeran Pendukung Wanita
Terbaik (film Tentang Dia). Saya jatuh cinta dengan akting Asti yang sangat natural. Tidak mudah, lho,
memerankan tokoh Marsha yang kelihatan always happy and feel free all the time di depan kamera. Gara-gara tokoh Marsha, pulang dari
XXI, saya membeli gelang kayu ini. Soalnya, Marsha selalu pakai aksesoris
hihihi. Halah.
Soundtrack genre folk
berjudul Summertime karya Diar menambah
keapikan film. Mungkin musik genre folk masih asing
di telinga penonton Indonesia. Saya juga merasakannya. Tapi, menurut sang
sutradara, latar musik jenis ini sangat cocok untuk film-film perjalanan.
Apalagi, setting-nya di Eropa. Yuk, dengar musiknya.
Seingat saya, saya belum pernah menonton film tentang perjalanan, selain film The Simple Life yang dibintangi Paris Hilton dan Nicole Richie. Kasihan, kasihan, hiks. Eh, lhaaa ... itu, sih, bukan film, ya, melainkan serial televisi. Intinya, saya suka dengan tontonan bertema ini, deh.
Cuma, ada yang mengganjal dari film Laura & Marsha, nih. Adegan Laura mengalami kecelakaan
sebelum dia terbang ke Eropa, kemudian koma, dan voila ... sembuh, terasa
seperti tempelan belaka. Adegan ini terkesan ‘dipaksakan’ supaya bisa memberi alasan
kepada Marsha untuk mengajak Laura menjadi travelmate-nya. Berikutnya, kenapa Laura dan Marsha memutuskan untuk menyewa
mobil Mercedes Benz sebagai transportasi mereka di Eropa? Kenapa tidak menggunakan transportasi publik seperti bus atau kereta? Bagaimana cara Laura
dan Marsha mengembalikan mobil sewaan mereka yang hilang itu? Harganya, kan,
mahaaal. Uang mereka sudah amblas karena berbagai peristiwa tak terduga selama
perjalanan. Ya, tidak semua harus ada penjelasan, sih. Tidak mengurangi keasyikan
menonton film Laura & Marsha
juga. Tapi, mungkin bisa menjadi perhatian di masa datang.
Film Laura & Marsha bukan sekadar film tentang perjalanan biasa. Ada pencarian makna persahabatan sejati, pencarian makna sesungguhnya sebuah perjalanan. At the end, film yang diproduseri Leni Lolang dan digarap Inno Maleo Films ini, sukses membuat saya mupeng ingin traveling ke Eropa, terutama
Italia. Selain indah, Italia adalah salah satu kiblat mode dunia. Kali saja saya
bisa cuci mata melihat fashion yang
keren-keren di sana. Soal kiblat mode dunia, kata orang-orang, ini bisa jadi berawal dari bentuk negara Italia yang seperti kaki perempuan sedang memakai sepatu high heels. Lihat saja di peta. Percaya?
![]() |
Foto dari sini |
Terima kasih kepada rekan blogger Ani Berta yang telah mengundang saya dan suami menonton film Indonesia yang bermutu ini. Merupakan salah satu hadiah cantik yang saya terima, tepat di hari ulang tahun saya 25 Mei lalu. Film Laura & Marsha serentak diputar di bioskop pada tanggal 30 Mei 2013. Cocok banget ditonton oleh Teman-Teman yang suka traveling, apalagi bareng sahabat tercinta. Mariii ...! ^_^ [] Haya Aliya Zaki
wah keren ya mak haya :)
BalasHapusIya, filmnya keren, Mak. :)
HapusAku liat iklannya di RCTI mak, pengen banget nonton film nya :)
BalasHapusIya, Mak. Yuk, nonton. Eh, tapi, dikau di Abu Dhabi, piye, ya? :(
HapusWah, ntar nonton ah, jadi bisa cuci mata akan view indah luar negeri, juga jadi penasaran akan critanya nih gegara review Mak Haya. :) Tapi alangkah indahnya jika dapat undangan seperti yang dirimu dapatkan tuh, Mak. Haha. #NgarepDotCom.
BalasHapusHahaha Mak Alaikaaa. :)))))
HapusFilm yg berbudget mahal ini :D. Jalan2 maak keeropah, saiah sudah :D gratis pulak...
BalasHapusIya, Mak. Lupa aku berapa miliar bujetnya.
HapusHuaaa jalan-jalan gratis? Maooo!
reviewnya sip banget...
BalasHapusMakasih, Mak Cantik. Yuuuk, nonton. :D
BalasHapusSeruu Maak kayanya yaa:D
BalasHapusBaca reviewnya keren, apalagi kalo sambil nonton ya..
Penasaran sama View di eropa nya..!
makasih ya sharing nya..
#bisa2 nonton bareng Olive niy :D
Selamat manuntuuuun. :D
BalasHapusjadi pingin nonton filmnya. seru kayaknya
BalasHapusIya, seru, Mak. Sekalian cuci mata lihat pemandangan Eropa yang indah. :)
BalasHapusJd penasaran... Soundtracknya keren tuh .cocok dg filmnya :)
BalasHapusIya, Mak. Soundtrack untuk film-film road movie, kata sutradaranya. Yuk, nonton. :)
BalasHapusMupeng mbaaaaaak :(
BalasHapusNyoook ... nonton. :D
HapusPengen nonton. Tapi, kapan bisa nonton bioskop lagi, ya? :D
BalasHapusHihihi Mak Sary baru punya baby, sih, ya. Aku waktu juga baru punya baby, ga bisa nonton ke bioskop, Mak. Kalo dibawa, kasihan baby. Kalo ditinggal, tahu-tahu baby pengin nyusu piye. :D *tidak memberikan solusi* :))))
Hapushiks..hiksss,,sayang saya belum nonton...
BalasHapuskeren mak filmnya ya, saya juga punya sahabat malah sejak SMP sampai kuliah selalu satu sekolah dan bersama, tp setelah nikah kami jauhan
BalasHapus