Dalam menuliskan kisah, sudut pandang memiliki peran utama selain tema, alur, penokohan, dan setting. Sebenarnya, apa yang dimaksud
dengan sudut pandang atau sering juga disebut dengan PoV (Point of View)
ini?
Sudut pandang adalah cara penulis
menempatkan diri dalam sebuah kisah. Penulis yang mampu berkisah dengan baik
dengan sudut pandang yang dipilihnya, akan membuat pembaca seolah-olah menjadi
tokoh utama atau berkawan dengan tokoh utama. Hal ini penting karena bukankah
pada akhirnya untuk pembacalah kita menulis?
Sudut pandang orang pertama
Sudut
pandang orang pertama biasanya memakai
kata ganti “aku”, “saya”, “beta”, dan “gue”. Di sini, penulis menuliskan sikap, kelakuan,
dan kata hati si “aku” tadi.
Contoh:
Di usia sesenja ini,
aku melihat indahnya pelangi. Aku tak pernah menyesal baru melihatnya sekarang.
Masa lalu adalah pembelajaran berharga. Aku dan suamiku bahagia. Aku berharap, kelak jika kami kembali ke Sang Mahapencipta, anak-anak
bangga mengenang kami sebagai orangtua mereka. Aamiin. (Pelangi Senja, Indah Juli)
Contoh lain:
Saya terpaksa mencari
keterangan lebih lanjut tentang Kerajaan Sardinia karena Aghna hanya mengangguk
tak jelas ketika ditanya. Ternyata, Kerajaan Sardinia
adalah salah satu kerajaan di benua Eropa yang berdiri sekitar tahun 1830-an. Kenapa Aghna memilih mengaku sebagai raja dari
Kerajaan Sardinia? Entahlah. Kalau itu, saya benar-benar tak tahu. (Raja Sardinia, Erna Fitrini)
Kelemahan memakai sudut pandang orang pertama adalah tokoh “aku” tidak mungkin bisa berkisah banyak atau mendalam tentang gejolak batin, selain “aku”.
Perhatian
Kata
ganti yang digunakan harus konsisten. Jika memakai “aku”, maka dari awal sampai
akhir kisah, tokoh tetap “aku”, tidak berubah menjadi “saya”, “beta”, atau
“hamba”.
Jangan sampai tokoh “aku” bisa mengetahui gejolak
batin atau isi hati tokoh A, B, C, dan seterusnya.
Lakukan
riset sebelum menulis tokoh “aku”. Jika “aku” adalah seorang perempuan, maka
cara berpikir dan bersikap “aku” haruslah sebagai perempuan, jangan lelaki.
Jika “aku” adalah anak kecil, maka cara berpikir dan bersikap “aku” haruslah
sebagai anak kecil, jangan orang dewasa, demikian seterusnya.
Beberapa
penulis menggali kreativitas mereka dengan menggunakan sudut pandang yang tak
biasa. Contoh: novel Tanah Tabu karya
Anindita Siswanto Thayf, memakai sudut pandang “aku” dengan tokoh utama: babi
dan anjing. Cerpen Ranti Menderas
(kumpulan cerpen Dokumen Jibril)
karya Asma Nadia memakai sudut pandang “aku” dengan tokoh utama: pajangan kayu di sebuah hotel.
Sudut
pandang orang ketiga
Sudut
pandang orang ketiga menggunakan kata ganti “dia” atau “ia”. Di sini, penulis
bersikap sebagai pengamat dan menuliskan hal-hal yang dikerjakan oleh tokoh.
Contoh:
Eli heran
melihat sikap Bang Win yang begitu
peduli dengan perempuan lain. Padahal, kepada istri sendiri, tidak demikian. Sudah sepuluh tahun menikah, Eli hafal betul tingkah suaminya. Dia merasa Bang Win menyembunyikan
sesuatu. (Bayi dalam Selimut Merah Muda, Firma Sutan)
Manakah
sudut pandang yang paling baik?
Ini
kembali ke soal pilihan. Bila Anda merasa lebih menikmati memakai sudut pandang
orang pertama, silakan. Bila gaya berkisah Anda lebih terwakili dengan memakai
sudut pandang orang ketiga, sah-sah saja.
Sebetulnya,
selain sudut pandang orang pertama dan ketiga, ada sudut pandang orang kedua.
Kata ganti yang digunakan adalah “kau” atau “kamu”.
Contoh:
Kamu duduk melamun di kafe itu. Seseorang menyapamu namun kamu seolah tak
mendengar. Matamu terus saja menatap kosong pada gelas di atas meja.
Sudut
pandang orang kedua jarang sekali
digunakan.
Contoh novel yang memakai sudut pandang orang kedua adalah Cala Ibi karya Nukila Amal dan Dadaisme
karya Dewi Sartika.
Nah,
tunggu apa lagi? Silakan tentukan sudut pandang yang Anda sukai dan mewakili
gaya Anda dalam
berkisah! [] Haya Aliya Zaki
wahh.. aku sering kelupaan dg yg satu ini. kata gantinya gak konsisten :( sebab biasanya ada kalimat yang enak pake "aku" dan ada juga yang pake "saya" #emg blm pinter sih hihi
BalasHapusHarus konsisten dari awal sampai akhir. :D Terima kasih sudah mampir, Mas. Keep on writing. :)
HapusAku slalu pake 'aku'. Pengen sih sekali2 pk pov org ke-3. Tp kok susah ya
HapusBoleh dibaca-baca buku yang tokohnya PoV orang ketiga untuk menambah wawasan. Terus latihan, ya. :)
HapusKalo saya lebih suka pake sudut pandang orang pertama aku :)
BalasHapusTerimakasih sarannya :)
Demikian pula saya. :) Terima kasih juga sudah mampir. :)
Hapuswah, tepat sekali tulisan mba haya menjawab pertanyaanku, kadang juga bingung nich mba...antara aku dan saya, mana yang tepat dan lebih baik digunakan sich?
BalasHapusKalau kata ganti, em, berganti-ganti sich...kalau menceritakan kisah sendiri aku atau saya, tapi kalau fiksi hehee...ia,
Hujan-hujan penuh impian,
dah...mba haya
Yuhuuu ... jangan lupa dicincing roknya kalau lewat jalan becek, Mak. Biar ga kebasahan. :D
HapusKalo saya suka pakai "saya" daripada "aku". Kesannya kalau "saya" itu lebih sopan. :) Pasangannya kalo nunjuk orang jadinya "anda"... :)
BalasHapusBtw, salam kenal ya, bu. :)
Sip, dipilih yang paling nyaman. Cuma, disesuaikan juga dengan karakter tokoh dalam kisah. :)
HapusSalam kenal juga. Terima kasih sudah mampir, ya. :)
HapusSelama ini ΔǨϋ memang blm pernah terjun ke dunia cerpen,krn,,, ya ini masalahnya, ΔǨϋ sering mencoba dan selalu mendapat benturan "hebat". Mengambil posisi utk memulai huruf pertama yg terlalu terbata2. Inilah salah satu masalah itu, 'sudut pandang'
BalasHapusTrims mbak haya, atas kebaikan hatinya membagi tips dan info berharga ini..
Semoga bs jd inspirasi awal buatku di TÉ‘̤̈̊♓uÏž ini. Wsslm.
Aamiin. Terima kasih kembali. Tetap menulis. Salam kenal. :)
HapusWahh, kalau aku, lebih suka pakai sudut pandang 'aku'. Kayaknya lebih enak aja untuk ngirim-ngirim naskah. Tapi kalau urusan tulisan di blog,tergantung kisah yang ditulis. Nggak harus aku, terkadang suka pakai kata saya, atau kami biar gak terkesan sombong. (Lho? Apa hubungannya ya? Hihihi...)
BalasHapusKalau kata ganti "kami" biasanya digunakan kalau tokoh berada dalam sebuah komunitas, misal di sekolah, rumah makan, dst. Dia menceritakan masalah yang sedang terjadi di komunitas dan sekelilingnya. IMHO. :)
HapusTapi tetap lebih nyaman pakai 'aku', daripada saya. Kayaknya agak kagok kalau pakai 'saya'. (Nah.. loh.. bingung ya baca komennya? Hahaha.. Emang pengen bikin mak Haya bingung... hihihi. Kaboooorrr)
BalasHapusSip, dipilih yang paling nyaman aja. :D *tarik ujung baju Mak Trance* :D :p
Hapusmasih belom konsisten nih mak. kadang pake "Aku", kadang pake "saya" tergantung situasi yang ingin di bagikan ke pembaca :)
BalasHapusBoleh boleh aja, Mak. Kalau tulisannya berbeda. :D
BalasHapusNah loh, kalo saya malah sering kayak bunglon Mak Haya
BalasHapusbukan ditulisan panjang sih, tapi dari percakapan tertulis dengan beberapa teman.
Kalo chat dengan teman tertentu yang seusia pakai "ane"
teman yang satu yang mudaan dikit, pakai "gw elu" #biar berasa muda getoh hihihi
kalo sama emak2 pakai kata "saya" hehehe
Dan karena kebiasaan, gak pernah tertukar tuh Mak.
Kalo ditulisan, biasa dan memang lebih banyak menggunakan PoV "saya".
Pernah malah ketika proses edit sana sini, PoVnya saya ganti jadi "aku" karena merasa itu yang lebih pas, jadi mesti merubah semua dari "saya" ke "aku"
Kalau dialog antartokoh, itu tidak apa-apa, Mak. Pasti beda saat kita dialog dengan orang tua dan dengan teman sebaya. Dengan orangtua, kita pakai "kulo", dengan teman sebaya pakai "gue, misalnya.
HapusYang harus konsisten adalah "saya" atau "aku" ke pembacanya. Semoga bisa dipahami ya, Mak. :)
Yep, paham Mak. Konsisten PoV pada kisah yang ditulis
HapusKalau dialog2 biasa antar teman boleh beda2.
Pernah loh Mak, teman yang lama gak ngobrol, giliran chatting bilang 'kayaknya ini bukan mbak Nur deh, kok bahasanya lain' *hihihi
Thank u, ilmunya Mak.
Iyo, masamo. :)
Hapuskalau saya sih lebih suka aku, tapi kalau koment begini lebih suka saya, plin plan kan? :( mksh ilmunya mak :)
BalasHapusHihihi ga apa-apa, Mak. Yang penting konsisten dalam cerita yang ditulis. :D Kalau di komen-komen, sih, sesukanya aja. :D
HapusSaya sering tidak konsisten Mak
BalasHapusIni yang harus hati2 ya
Setelah nulis, coba di-self edit, Mak. Nanti kelihatan yang perlu diperbaiki. :D
Hapuskayaknya sih konsistensi aku dan saya itu beda-beda di lain tulisan ga masalah, asal tidak di satu tulisan... gitu kan Bunda?
BalasHapusaku sih suka mengeksplore semua sudut pandang ... yang paling "ga biasa" yg pernah kubikin sih "aku" dengan tokoh utama orang gila itu hahahahaha... yg paling susah yang PoV orang kedua kayanya ya.. blom nemu yang pas :D pengen juga kapan2 pake.. hehehehe...
Nice sharing Bunda ... as always :-*
Iya, kalau beda tulisan, tidak apa-apa, Mom. :D
HapusWakakaka ... iya, aku dah baca yang cerita orang gila itu. :)) Eh, kalau PoV orang kedua memang susah, Mom. Aku jarang banget pakai. :D
berharga sekali dan bermanfaat bagiku yang baru mau mulai dan belajar untuk menulis dengan baik terimakasih mak infonya
BalasHapusAlhamdulillah kalau bermanfaat, Mak Sri. Keep on writing. :)
BalasHapussudut pandang keduanya kelewat, mbaaa ;p
BalasHapusHayooo ... coba baca yang teliti. Sudut pandang kedua saya sebutin, lho. :D
Hapusahh senang sekali baca ini...jadi jelas soal PoV ^.^
BalasHapusmakasih mbaak sharingnya
menguji sampai dimana pengetahuan bahasa indonesia kita yah heheheh
Makasih kembali. Senang kalau tulisan ini bermanfaat, Mbak. :D
Hapusmakasih mak udah share ilmu yang sangat bermanfaat ini,,
BalasHapusjadi makin bnyk ilmu,,
salam kenal ya mak :-)
Salam kenal kembali. Makasih sudah mampir. Sama-sama saling sharing, saling mengisi. :D
HapusIkut ngeshare di fb ya mak
BalasHapusThanks a bunch
IF ga sibuk, mampir dong mak ke FF sy yg ini
www.knitknotlove.blogspot.com/2013/02/miss-innocent-vs-miss-everything-ok.html
Sy coba bikin twistPov dr org ketiga menjadi org pertama.
*mohon koreskinya bu guru*
aku juga seringnya pake "aku" mbak, tapi pengen nyoba pake PoV orang ketiga..
BalasHapusKayaknya lebih luwes kalo pake PoV orang ketiga :D
Makasih infonya mbak :)
Coba buat contoh dialog POV3 kak..??
BalasHapus