Tulisan ini dimuat di majalah Sekar
rubrik Plesir. Sekarang majalah Sekar sudah tidak terbit.
“Apa saja yang menarik dari kota Medan?” seorang teman di Jakarta pernah bertanya kepada saya tentang kota kelahiran saya, Medan, Sumatera Utara.
Saya tersenyum. Ya, sebagian orang mungkin hanya mengenal
Medan sebagai kota yang memiliki penduduk bersuku Batak. Padahal, banyak
hal menarik yang bisa digali dari kota ini. Terutama, bangunan-bangunannya yang
bersejarah dan cita rasa kulinernya yang unik.
Beruntung saya. Beberapa waktu lalu saya berkesempatan
pulang sekalian plesir selama seminggu di Medan. Dibandingkan sepuluh tahun
lalu, wajah Medan sudah banyak berubah. Medan yang sekarang mulai dipadati
gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan. Lampu warna-warni di
sepanjang jalan, cantik menerangi kala malam. Saya mencoba mengurai kenangan
dengan menjajaki tempat-tempat yang menjadi favorit saya dan keluarga
Berbelanja di
Pajak Ikan Lama
Salah
satu agenda saya saat ke Medan adalah berbelanja di Pajak Ikan Lama. Di Medan,
istilah “pajak” berarti “pasar”. Pajak Ikan Lama sudah ada sejak zaman Belanda
dulu (dibuka tahun 1890). Awalnya, Pajak Ikan Lama memang pasar ikan. Ikan
diambil dari Pelabuhan Belawan dengan memakai kapal tongkang, melewati Sungai
Deli. Lama-lama, Sungai Deli tidak lagi mampu menampung kapal-kapal tongkang
ini. Pajak Ikan Lama pun berubah menjadi pusat grosir perdagangan kain, busana
muslim, dan benda-benda perlengkapan haji, di Sumatera Utara. Meski demikian,
nama tempatnya sendiri tidak berubah.
Mata saya seolah tidak ingin lepas memperhatikan aneka
busana muslim dan kain-kain cantik yang dijual di toko-toko. Kata Haji Ayub
Jenggot, pedagang asal Pakistan yang sudah tiga puluh tahun membuka usaha di
sini, Pajak Ikan Lama juga dikenal sebagai “kembaran Tanah Abang”. Pembelinya
rata-rata warga Sumatera Utara, Aceh, dan Riau. Barang-barang dijamin
berkualitas bagus. Harganya murah-murah.
Cantik-cantik, ya? |
“Mendekati Lebaran dan Hari Raya Haji, jumlah pembeli
meningkat. Untuk orang-orang yang mau naik haji, biasanya sebelum berangkat ke tanah
suci, mereka berbelanja oleh-oleh haji dulu di sini. Jadi, kegiatan ibadah
mereka di sana tidak terganggu oleh keinginan berbelanja ini-itu untuk
oleh-oleh,” jelas Haji Ayub Jenggot lagi.
Oleh-oleh perlengkapan haji |
Untuk
barang-barangnya, beberapa pedagang mengaku memproduksi sendiri, terutama
jilbab. Sementara, telekung (mukena) dan baju koko, mereka ambil dari Tasik.
Tasbih, ceret emas dan perlengkapan makan lainnya yang berwarna emas, dari
Cina. Sementara, kurma dari Madinah, Dubai, Mesir, dan Iran.
Saya membeli jilbab, telekung, dan beberapa lembar kain
untuk oleh-oleh. Selesai saya berbelanja, pas pula azan Zuhur berkumandang.
Masjid Lama
Gang Bengkok Kesawan
Saya menyempatkan diri salat Zuhur di Masjid Lama Gang Bengkok Kesawan. Letaknya
di Jalan Mesjid, Kelurahan Kesawan, Medan Kota. Jaraknya tidak jauh dari Pajak
Ikan Lama. Sebentar saja naik beca, saya sudah sampai.
Di teras masjid, saya “disambut” oleh desain “lebah
bergantung” berwarna kuning di langit-langit masjid. “Lebah bergantung” adalah
desain khas bangunan ala Melayu Deli.
Masjid Lama Gang Bengkok Kesawan |
Masjid Lama Gang Bengkok Kesawan istimewa karena nilai
sejarahnya. Merupakan salah satu masjid tertua di Medan. Masjid dibangun di
atas tanah yang diwakafkan Datuk Haji Muhammad Ali. Biaya pembangunan utama masjid
berasal dari Tjong A Fie, seorang saudagar keturunan Tionghoa, pada masa
pemerintahan Sultan Deli Makmun Al Rasyid tahun 1890.
Di sebelah kanan masjid ada perpustakaan berukuran enam
kali empat meter. Dari perpustakaan, ada pintu tembusan menuju belakang masjid
yang ternyata tanah makam imam/nazir pertama, yakni Syekh H. Mohammad Ya’qub. Yang
menarik perhatian saya adalah sumur yang ada di tempat wudhu perempuan. Sumur
berdiameter dua meter dan berkedalaman dua belas meter ini digembok supaya anak-anak
tidak kecemplung. Sumur tersebut merupakan sumber air utama masjid, khususnya
berwudhu. Airnya selalu jernih. Walau musim kemarau, sumur tidak pernah kering.
Oiya, Masjid Lama Gang Bengkok Kesawan tidak memakai nama
islami seperti kebanyakan masjid lain. Menurut keterangan dari nazir masjid,
Nasrun Tanjung, hal ini karena dulu di depan masjid ada sebuah gang yang
bentuknya bengkok.
Selain istimewa karena nilai sejarahnya, masjid Lama Gang
Bengkok Kesawan juga disebut-sebut sebagai simbol toleransi antarumat beragama
di Medan. Arsitekturnya perpaduan antara gaya Cina, Melayu, dan Timur Tengah.
Lihat saja, bentuk kubahnya memanjang dan kedua ujungnya menukik ke atas, mirip
kelenteng. Warna bangunan didominasi kuning (emas) sesuai warna kebanggaan kerajaan
Melayu Deli. Biasanya, warna kuning ini dipadukan dengan warna hijau untuk
memberikan sentuhan Islam. Setelah direnovasi, warna kuning dan hijau jadi berkurang.
Tembok luar dan dalam berganti marmer warna abu-abu. Saya senang melihat model
mimbarnya yang tinggi, antik, dan bergaya Timur Tengah. Saya menghitung ada
tiga belas anak tangga pada mimbar. Sementara, tempat imam juga baru
direnovasi. Bentuknya mirip seperti pintu Romawi. Harapan saya, semoga semangat
toleransi antarumat beragama tidak punah seiring perkembangan dan kemajuan kota
Medan.
Mimbar yang unik dan antik |
Nikmatnya mi
aceh dan bandrek
Malam
hari, rasanya paling pas makan mi aceh yang hangat dan pedas. Mi aceh yang
terkenal di Medan adalah Mi Aceh Titi Bobrok. Letaknya di daerah Setia Budi.
Dinamakan Mi Aceh Titi Bobrok karena rumah makan ini awalnya adalah warung
kecil yang berdiri di dekat jembatan (titi) yang bobrok.
Mi Aceh
Titi Bobrok selalu ramai oleh pembeli. Apalagi, malam Sabtu dan Minggu. Setiap
harinya, minimal 100 kg mi terjual. Ketika saya datang, suasana restoran padat
sekali. Suara pembeli yang antre dan suara pelayan dalam logat Aceh, hiruk
pikuk memenuhi ruangan.
Mi siap dimasak |
Yang rada beda, dapur terletak di bagian depan. Begitu
masuk, pembeli langsung disuguhkan “pemandangan” kelincahan pelayan yang sedang
memasak dan mengolah mi aceh. Pembeli yang ingin take away, antrenya di dekat dapur ini.
Kalau dilihat,
penampilan mi aceh memang berbeda. Warnanya kuning betul karena sebelumnya
dibaluri kunyit. Mi-nya juga besar-besar. Sekilas, seperti spageti. Yang paling
laris adalah mi aceh kuah kepiting. Tapi, saya memilih mi aceh kuah udang
karena saya penggemar udang.
Begitu mi aceh sampai di meja saya, mmm ... aroma
rempah-rempahnya langsung tercium. Kuahnya merah kental dan bercita rasa pedas
(seperti kari). Disajikan dengan campuran udang, tomat, toge, seledri, bawang
goreng, acar, dan emping. Selain mi kuah, ada juga mi goreng. Anda cukup
mengeluarkan uang Rp8 ribu untuk seporsi mi aceh ini. Murah bukan?
Selesai makan, tanpa sadar saya berdecak kagum melihat para
pelayan yang tampak sigap bolak-balik membawa beberapa piring mi di tangan
hingga sampai ke meja pengunjung. Akan tetapi, saya tidak bisa terkagum
lama-lama karena harus segera beranjak. Pengunjung yang lain sudah mengantre
tempat duduk. Selain itu, baju saya juga telah basah oleh keringat. Mungkin
karena efek pedasnya mi aceh tadi. Mungkin karena suasana ruangan yang semakin
padat pembeli.
Makan mi
aceh sudah. Kini, saatnya bersantai sambil menikmati segelas minuman bandrek
yang diyakini mampu memulihkan stamina. Saya mampir ke Bandrek Said di Jalan
Gatot Subroto.
Bandrek Said ada di empat tempat di kota Medan, yakni
Jalan Gatot Subroto, Ringroad, Setia Budi, dan Krakatau. Letaknya biasanya di
pelataran parkir ruko. Buka mulai sore hari hingga tengah malam. Pembelinya
kebanyakan anak muda Medan. Keistimewaan Bandrek Said adalah rasanya yang tidak
terlalu pedas. Benar-benar pas di lidah dan kerongkongan saya. Ketika saya
tanya komposisi bandrek, penjual mengatakan tidak tahu. Mereka sudah menerima
“bandrek jadi” dari sang pemilik usaha, Haji Said Nasrul Alatas. Menu andalannya
adalah bandrek susu. Harga segelas bandrek berkisar Rp4 ribu-Rp7 ribu.
Selain roti, pasangan minuman tradisional ini adalah
bubur jagung atau bubur kacang hijau. Yang membedakannya dengan bubur jagung
atau bubur kacang hijau biasa adalah adanya campuran jali-jali berwarna putih,
kecil-kecil seperti butiran nasi. Saya suka karena rasanya enak dan lembut.
Seingat saya, saya belum pernah menemukan kuliner jali-jali di daerah Jakarta
dan sekitarnya.
Oke, oleh-oleh kuliner sudah di tangan. Saya bergegas berangkat
menuju Bandara Polonia. Hm, seminggu berada di Medan, sepertinya tidak cukup. Masih
banyak tempat yang ingin saya datangi. Masih banyak kuliner yang ingin saya
cicipi. Saya akan terus menabung rindu. Suatu saat, saya pasti kembali ke Negeri Sultan Deli ini. [] Haya Aliya Zaki
Alamakkk... itu foto terakhir ituh.... -_____-"
BalasHapusWakakaka ... suka sate kerang, Mom? Yuk, main ke Medan. :D
BalasHapusmi Acehnya sampai menggunung begitu . . .
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusIya, Mak. Soalnya yang beli banyak banget. Sehari bisa 100 kg kejual.
HapusAku favoritnya ke Tip Top mak, makan steak lidah telor setengah matang. sullrppp...
BalasHapusMak, komentarnya ditambahih "name/URL" dong biar kalau komentar aku nggak login dulu ke gmail
Aku juga suka Tip Top. Aku ada nulis ttg Tip Top juga. Lagi nunggu terbit, Mak. Eh, maksudnya nambahi "name/URL" itu apa, Mak? Caranya? Xixixi wong gaptek iki. :))
BalasHapusyang kutahu dari MEdan...bolu Meranti...oleh-oleh dari rekan saya dari Medan...heheeee,
BalasHapusnice trip mba...
*dapat ilmu lagi....
Hahaha ... nah, bolu Meranti itu deket rumah orangtua saya, lho, di Medan, Mak. :D Ditunggu tulisan traveling Mak Astin, ya. :)
BalasHapuswhuuuuaaa menggoda iman itu futu-futunya
BalasHapuspengen belanja dan makan jadinya :D
makasih mak, sudah lebih cerah setelah membaca perjalanan mak haya :D
Berbagi Kisah, Informasi Dan Foto
BalasHapusTentang Indahnya INDONESIA
www.jelajah-nesia.blogspot.com
Makasih infonya. :)
Hapussalam mbak...,
BalasHapusmau nanya niih...
kalau kirim tulisan ke majalah Sekar dapet bukti terbit gak?
makasih sebelumnya ya mbak...
Dee An
www.adventurose.com
Salam Mbak Dee An.
BalasHapusKalau dimuat di majalah Sekar, tidak dapat bukti terbit, Mbak. Kita beli sendiri majalahnya. Demikian.
Gak dapet informasi juga ya mbak, waktu tulisan kita dimuat, lewat email misalnya...
Hapusoia, Mbak... saya follow yaaa...
BalasHapussalam kenal dari Batam... :)
Dee An
Waktu itu, mereka butuh beberapa foto lagi, saya dihubungi, Mbak. Tapi, biasanya, untuk rubrik lain di majalah Sekar, tidak ada pemberitahuan kalau dimuat. Kalau Mbak Dee An mau kirim, nanti saya bantu pantau. Tolong kabari kalau sudah kirim ke Sekar.
HapusTerima kasih sudah di-follow. Saya sudah mampir ke blog-nya. Pernah baca juga beberapa tulisan Mbak di majalah Ummi. AYo, kirim-kirim ke Sekar, Mbak. :)
Hapusiya nih..., pengen coba kirim juga ke media lain, mbak... :)
makasih banget infonya ya mbak... :)
Oke, kabar-kabari kalau sudah kirim, ya. Nanti saya bantu pantau. :)
Hapusmak keren banget tulisannya
BalasHapusoya redaksi terima ga catatan perjalanan luar negeri, trus catatan yang udah kita tulis di blog apa masih bisa kita kirim
woowww,, kerenn2 bangett tempatnya, apalagi kulinernya... hehehe pastinya enakk..
BalasHapusDuh sayang ini majalah udah gulung tikar ya
BalasHapus