Penulis : Barack Obama
Penerjemah :
Miftahul Jannah Saleh, dkk
Penyunting :
Andityas Prabantoro
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal buku : 493 hal
Barack Obama (Obama) memang fenomenal. Dia adalah warga
Amerika Serikat (AS) kulit hitam perdana yang diambil sumpah memangku jabatan menjadi
Presiden AS. Padahal semua orang tahu
bahwa lawannya saat kampanye cukup tangguh yakni, senator New York, Hillary Rodham
Clinton. Diakui, sosok Obama sangat kuat menebar harum kharisma, pidato-pidatonya
membius, dan mampu menarik limpahan
simpati publik.
Sebenarnya, menjelang
semarak pemilihan Presiden Amerika Serikat ke-44 beberapa waktu lalu, bukan
warga Amerika Serikat saja yang berdegup cemas menanti hasil. Dan, ketika
akhirnya Obama menduduki posisi sebagai orang nomor 1 di negeri Paman Sam itu,
bukan warga AS saja yang meluap bahagia. Di belahan bumi lain, ada warga Indonesia,
ikut melonjak gembira dan meneteskan air mata haru. Ya, sepanjang sejarah
pemilihan Presiden AS, baru kali ini nama Indonesia terdengar begitu karib. Bagaimana tidak? Jejak masa
kecil Obama selama beberapa tahun di Indonesia dan latar belakang keluarganya
yang muslim, seolah mampu menjalin simpul ’hubungan emosi’ nan kuat. Tersemat keping bangga di hati.
Untuk memenuhi animo masyarakat (terutama di Indonesia)
tentang Obama, para penerbit berlomba melempar ragam buku seputar Obama ke
pasaran. Buku karya Obama sendiri, Dreams from My Father: Pergulatan Hidup
Obama, termasuk unik dan paling mencuri perhatian. Buku ini ditulis Obama
sekitar satu dekade silam, atas tawaran sebuah penerbit karena terpilihnya ia
sebagai orang Afrika-Amerika pertama yang menjadi Presiden Harvard Law Review. Seiring
ia mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika Serikat -tentu karena meroketnya
publikasi- buku ini diterbitkan kembali. Ternyata respons masyarakat melebihi
dugaan. Buku ini menuai sukses.
Buku ini terdiri dari 3 bab: Asal Usul, Chicago, dan
Kenya. Diceritakan, Obama lahir di Hawaii, dari pasangan beda ras. Ayahnya, Barack
Hussein Obama Sr, keturunan Afrika, warganegara Kenya (suku Luo). Ibunya,
wanita cantik berkulit putih asal Kansas, bernama Stanley Ann Dunham (Ann).
Barack Hussein Obama Jr mewarisi nama indah sang ayah
yakni: Barack, berarti barokah (berkah dari Tuhan). Sayang, pada umur dua tahun,
Obama ditinggal ayahnya ke Afrika. Rangkuman cerita tentang sang ayah dari Kakek,
Toot (panggilan Nenek di Hawaii) –dari pihak ibu Obama-, ibunya, juga hubungan surat-menyurat, kerap menjadi pengobat rindu tak terucapkan.
Episode
Indonesia
Lalu takdir menggariskan, Ann menikah dengan pria tampan berkulit
cokelat berkebangsaan Indonesia, Lolo Soetoro (Lolo). Hmmm, bisa dipastikan,
’episode Indonesia’ dalam buku ini adalah
kisah yang paling ditunggu pembaca Indonesia.
Dan ’episode Indonesia’ pun berawal dari sini. Karena
sesuatu hal, Lolo terpaksa meninggalkan Hawaii dan pulang ke negaranya. Obama dan ibunya dibawa serta. Ada
dialog lucu saat Kakek, Toot, dan Obama kecil mencari tahu lebih jauh tentang
kondisi dan situasi negara Indonesia, melalui peta. ”Dalam buku ini dikatakan
bahwa mereka di sana masih punya macan,” kata Kakek. ”Dan orang utan.” Dia
melongok dari balik bukunya dan matanya membesar. ”Bahkan di sini dikatakan
bahwa di sana masih ada pemburu kepala!” (hal.53). Sementara itu, Toot menjejali koper Obama dan
ibunya dengan makanan-makanan instan. ”Kau tak pernah tahu mereka itu makan
apa,” ujarnya tegas (hal.54).
Nuansa panorama ’cokelat dan hijau’ yang kental,
tergambar baik dalam kenangan kanak-kanak Obama akan Indonesia. Lahan subur,
rimbun pepohonan, hamparan sawah, dan aneka satwa menarik. Walau tak
dimungkiri, potret kumuh dan terbelakang, mencengkeram erat penduduk kita saat
itu. Belum lagi korupsi yang merajalela, perubahan radikal oleh polisi dan
militer, industri-industri dikelola oleh keluarga presiden dan pengikutnya.
Karena tak pernah bersua dengan keluarga besar ayah
kandungnya, maka, Indonesialah, tempat Obama pertama kali belajar tentang
keragaman dan toleransi. Kemandirian, sikap
santun, dan tidak banyak menuntut, adalah nilai positif lain yang ia tanam lekat di
hati. Kehadiran adiknya, Maya Soetoro (saudara seibu Obama), beberapa waktu
kemudian, kelak menjadi faktor yang kian
melambungkan berita kedekatan sosok Obama dengan Indonesia.
Pergulatan
batin Obama
Setelah Ann bercerai dari Lolo, Ann bersama anak-anaknya kembali
Ke Hawaii. Masa remaja Obama sangat terjal. Lingkungan sekitar tidak bersahabat karena ia seorang kulit hitam
dan bernama aneh. Sungguh tak mudah, ketika ia mengutuk sikap rasis para kaum kulit putih,
secara bersamaan pula ia dibayangi wajah teduh sang ibu.
Depresi akibat reaksi represif lingkungan dan terjebak
kemelut pencarian ’akar’ budayanya (identitas), menjerumuskan Obama pada dunia minuman
keras dan obat-obat terlarang. Untunglah, berkat motivasi dan dorongan ibunya, Obama
beranjak bangkit dari keterpurukan. Karier dan kehidupan rohaninya pun berjalan
mulus. Sebagai aktivis di Altgeld (Chicago), Obama cukup bersinar. Pada momen
itu pula, ia sempurna memeluk ajaran Kristiani (setelah sebelumnya menjadi
seorang agnostik).
Obama
mencintai lelaki yang datang dan pergi dalam hidupnya. Ayah kandungnya, ayah
tirinya, dan Kakek. Tapi pada ayah kandungnyalah, Obama menumpukan semua yang
ia cari. Ayah kandungnya yang cerdas luar biasa dan punya banyak mimpi. Mimpi
untuk membantu perjuangan masyarakat. Obama
merasa berutang mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya. Dan, salah satu cara, Obama
akan menempuh studi di Harvard Law School. Ia berpikir, setidaknya dengan
belajar hukum, ia bisa membuat perubahan nyata.
Namun di satu sisi, Obama masih saja berkubang resah dalam titik pencarian ’akar’.
Bertahun-tahun figur sang ayah tetap menjadi teka-teki, menggerogoti pikiran dan
perasaan, mengajaknya untuk ’pulang’.
Wanita-wanita
di sekeliling Obama
Siapa lagi yang menjadi ratu di hati Obama kalau bukan
ibunya? Di mata Obama, Ann adalah wanita dermawan dan penuh kasih. Figur Ann
memberi pengaruh mahabesar dalam pembentukan moral serta mental Obama. ”Bila
kau ingin tumbuh sebagai manusia,” ujar Ann kepada Obama, ”kau harus memiliki
nilai-nilai.” (hal.73). Bicara soal pendidikan, pendidikan Obama termasuk
prioritas Ann. Contohnya saja, setiap
hari pukul empat pagi, Ann disiplin membangunkan Obama untuk mengajarkannya Bahasa
Inggris selama tiga jam.
Wanita lain yang
sangat dekat dengan Obama adalah Toot. Selama ini mereka tinggal
bersama. Apalagi, ketika Ann melanjutkan penelitian antropologinya di Indonesia,
praktis hanya Toot (dan Kakek) yang menemani Obama. Toot wanita pekerja keras,
juga bijaksana. Meski berkulit putih, Toot sangat membenci rasisme. Ada pula
Maya Soetoro. Sayang, dalam buku, kehadiran wanita beretnis Jawa yang sekarang
bermukim di Hawaii ini seakan selingan semata. Tak ada kesan khusus membekas.
Berbeda dengan Auma, kakak tiri Obama (saudara seayah). Obama membahasnya dalam satu sub bab penuh. Auma banyak mengurai nostalgia tentang ayah mereka. Meski mendapatkan informasi-informasi baru
dari Auma, Obama masih merasa belum mengenal sosok sang ayah. Akhirnya, atas
desakan kakak tirinya itu, tekad Obama untuk ’pulang’ benar-benar bulat.
Tampaknya, tumbuh besar dikelilingi oleh wanita-wanita yang
menyayanginya, membuat Obama dianugerahi pribadi lembut dan gampang tersentuh.
Mewujudkan
mimpi masa lalu Ayah
Obama
berangkat ke tanah asal ayahnya (Nairobi). Ia ingin mencari siapa dirinya. Ia
tak mau lebih lama tercerabut dari ’akar’. Menyimpan perasaan ’dibuang’ sejak
masih kanak-kanak, sungguh menyakitkan.
Di sana, Obama bertemu dengan keluarga
besarnya. Para bibi dan paman, sepupu-sepupu, istri pertama ayahnya (Kezia, ibunya
Auma), istri ketiga ayahnya (Ruth), dan nenek. Cerita-cerita yang meluncur,
terutama dari bibi serta nenek, menyibak sejarah keluarga Obama dan penyebab
sang ayah meninggalkannya. Puncaknya, Obama menangis pilu di pusara kakek dan
sang ayah. Tapi yang terpenting di atas segala, Obama berjanji akan berusaha keras mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya
yang menguap.
Jujur, bab Kenya adalah bab favorit saya. Obama mendeskripsikan dengan detail tanah
merah Afrika, pasar tuanya, hiruk-pikuk masyarakat, aksi riuh para pedagang,
dan pesona safari di alam terbuka. Saya ibarat menjelajah ke suatu tempat baru,
eksotis, mengasyikkan. Wawasan tentang suku-suku, adat istiadat, kebudayaan,
sampai histori awal kaum kulit putih
menduduki daerah di sana, sangat bermanfaat membuka pikiran.
Penutup
Seperti yang telah diutarakan Obama dalam Pendahuluan, buku
ini tidak memuat prestasi-prestasi berharga untuk dicatat, percakapan dengan
orang-orang termasyhur, atau sebuah peran utama dalam peristiwa-peristiwa
penting (hal.18). Namun, kisah istimewa warna-warni
kultur keluarga Obama dan proses
jatuh-bangun ia -yang ditakdirkan menjadi
pemuda kulit hitam dan menyandang nama aneh- sampai menjadi ’bintang’ seperti sekarang,
pastinya menginspirasi banyak orang. Tak heran bila buku ini mengukir
penghargaan bergengsi sebagai buku terlaris versi harian New York Times dan
British Book Award For Best Biography 2009.
Setelah buku ini, Obama menulis buku berikutnya yakni:
Menerjang Harapan: Dari Jakarta Menuju Gedung Putih. Buku kedua ini merupakan
kelanjutan perjalanan hidup Obama. Di dalamnya antara lain mengulas, tentu
saja, Indonesia. Bedanya, kalau di buku sebelumnya Obama berbicara Indonesia
dari sudut pandang lugu kanak-kanak, di buku ini ia berbicara Indonesia dari
sudut pandangnya sebagai politikus andal. Selain itu, lengkap pula dibahas tentang
refleksinya sebagai warga yang ’tidak
pernah berhenti resah’, perkembangan politik, kebijakan-kebijakan Presiden AS
terdahulu, masalah-masalah internasional, plus kerajaan kecilnya bersama
Michelle.
Bila sebagian dari Anda menelaah buku kedua Obama dengan
napas tersendat dan dahi berlipat karena aroma politiknya yang pekat, maka, memamah
Dreams from My Father: Pergulatan Hidup Obama, mungkin akan memberi sensasi ’menyenangkan’.
Mengapa?
Karena di
sini Obama lebih banyak bertutur tentang dahsyatnya arti keluarga, dalam
rangkaian bahasa indah dan memikat. Dengan pemahaman sederhana, maknanya mampu
menelusup deras ke lubuk hati. Banyak kalimat menggugah emosi, memaksa kabut
mengaburkan kelopak mata. Kelebihan lain, catatan-catatan kaki sangat membantu
pembaca awam untuk mengerti istilah-istilah sukar (terutama istilah hukum). Para penerjemah dan
penyunting layak mereguk pujian atas
hasil kerja keras mereka mengolah buku ini.
Hanya, barisan huruf berukuran kecil dan rapat, membuat
mata cepat menjemput lelah. Nihilnya dokumentasi berupa foto (selain foto
Obama), sedikit merajam suka. Saya pribadi berharap, paling tidak, dapat
menikmati foto orang-orang penting dalam kehidupan Obama seperti: ayah-ibu
Obama, Kakek-Toot, Maya Soetoro, atau mungkin keluarga besar Obama di Kenya.[] Haya Aliya Zaki
keren banget Mbaa... salam kenal yaaa, kunjungan perdana nih. *pengen belajar deh :)
BalasHapusSalam kenal juga hihihi. Telat balesnya, Maaakkk. :D
BalasHapusNICE,,
BalasHapusTOP bgt dah,, :)