Aku dan
adikku, Dina, sangat dekat dengan Ayah.
Setiap Ayah pulang kerja, pasti Dina bergelayut manja, minta dibonceng
keliling kompleks rumah dengan sepeda motor. Setelah itu, gantian aku menyodorkan
buku gambar, mengajak Ayah melukis bersama. Ayah memang piawai melukis. Goresan
sketsanya tegas dan dalam. Sapuan kuasnya halus. Warna-warna pilihannya
bersanding memesona. Ayah juga pandai menulis. Aku diajari menulis cerpen dan puisi.
Selain dengan kami, anak-anak perempuan Ayah, hubungan Ayah dan Ibu pun sangat
harmonis. Kami keluarga kecil yang bahagia.
Sehari
setelah aku merayakan ulang tahunku yang kelima belas, Ibu bercerita kepadaku
bahwa Ayah akan membangun perusahaan bersama beberapa temannya. Pekerjaan baru
Ayah menuntut Ayah sering bepergian ke luar kota.
Pelan-pelan
kami mulai terbiasa dengan jadwal pekerjaan baru Ayah. Aku sering menasihati
Dina supaya dia tidak rewel dan minta macam-macam. Ayah kan, sibuk bekerja. Ini
untuk perbaikan ekonomi keluarga.
Tiga tahun berlalu. Suatu hari, Ayah diantar
pulang dari luar kota oleh asistennya, Pak Candra. Biasanya, tidak demikian.
Ayah selalu berangkat dan pulang sendirian, tak pernah diantar oleh teman atau
anak buahnya.
Ternyata, kondisi
kesehatan Ayah tidak memungkinkan untuk pulang sendirian. Ayah sakit. Bukan
sakit fisik, namun sakit batin. Jenis penyakit yang belum aku mengerti waktu
itu.
“Bu ... aku
takut ... tadi Ayah bicara sendiri, Bu ...,” kataku kepada Ibu.
Jujur, aku takut
melihat “pribadi” Ayah yang baru. Tingkah Ayah seperti orang linglung. Kadang membentak,
memaki, bahkan menghamburkan kata-kata kotor kepada lawan bicaranya yang tak
ada. Kadang-kadang Ayah juga mengeluh pusing.
Pernah
sekali aku mendengar Ibu bertanya kepada Pak Candra tentang penyebab sakit Ayah.
Kata Pak Candra, di tempat kerjanya, Ayah sangat aktif membela kaum buruh.
Kebetulan Ayah bergabung dengan organisasi pembela kaum buruh. Sepertinya, ada
“orang dalam” perusahaan yang kurang suka dengan sepak terjang Ayah. Dugaan
mereka, Ayah ditenung oleh rekan kerjanya yang sakit hati. Entahlah. Sebenarnya
keluarga kami kurang memercayai hal-hal semacam itu. Apalagi, Ayah sangat taat
beribadah.
Semenjak itu,
hidup kami berubah bagai langit dan bumi. Aku dan Ibu rutin mengantar Ayah ke
dokter. Keuangan kami menipis dan Ayah tidak sembuh juga. Sampai akhirnya, kami
stop membawa Ayah berobat karena tak lagi punya biaya. Mustahil kami mengharapkan
bantuan dari keluarga besar Ayah maupun Ibu. Mereka semua berekonomi pas-pasan.
Sementara itu, teman bisnis Ayah memutuskan menjual perusahaan. Naas, Ayah tak
diberi sepeser pun uang hasil penjualan perusahaan.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup, Ibu menjadi buruh cuci dan berjualan lauk pauk di
depan rumah. Aku membantu Ibu memasak dan jualan. Alhamdulillah, aku mendapat
beasiswa dari sekolah. Namun, beasiswa itu cuma cukup untuk membayar SPP. Biaya
buku, alat tulis, seragam, dan lain-lain, semua ditanggung sendiri.
Setiap hari,
aku berjalan kaki sejauh tujuh kilometer ke sekolah. Aku tidak pernah naik
kendaraan umum karena harus berhemat. Sepatuku yang berdebu, adalah teman
setiaku. Karena dibawa berjalan kaki terus, alas sepatuku jadi tipis dan bolong-bolong. Aku tahu
Ibu belum mampu membelikan aku sepatu baru. Makanya aku berusaha untuk tidak
mengeluh apalagi meminta dibelikan. Aku segan menyusahkan Ibu.
Setiap pulang
sekolah, kakiku pasti penuh pasir. Di teras, aku membuka sepatuku dan menepuk-nepuk sampai seluruh pasir
di dalamnya keluar. Setelah itu, aku meniup-niup telapak kakiku yang nyeri
dan panas.
Jika Ibu kebetulan
melihat aku pulang sekolah, beliau langsung sigap membawakan ember berisi air
dingin dan meminta aku merendam kakiku di sana. Aneh, setiap Ibu melakukannya,
Ibu selalu menunduk. Belakangan baru aku tahu. Ternyata, Ibu tak kuasa menatapku
dengan mata menangis. Ibu menunduk dan membiarkan air matanya jatuh ke dalam
ember.
Alhamdulillah,
atas seizin Allah, aku berhasil menamatkan kuliah. Semua berkat
perjuangan Ibu. Sayang, Ayah tak sempat melihatku berdiri memakai toga.
Beberapa hari sebelum aku diwisuda, Ayah berpulang. Beliau dipanggil Allah kala
sedang tidur. Innalillahi wainna ilaihi rooji’uun ....
Terkadang,
rasa rinduku kepada Ayah menyeruak. Aku menyalurkannya dalam bentuk lukisan dan
puisi. Berikut puisi yang pernah aku tulis untuk Ayah.
Puisi Rindu untuk Ayah
Pada temaram
matamu
ada lentera yang selalu benderang
senandung kasihmu merdu terbawa
angin
menyembuhkan sayap camar yang
luka
membuat mawar-mawar merekah tanpa
beban
Ayah, tahukah engkau
telah beratus senja kucatat
senja yang merah karena terbakar rindu
Rinduku kepada Ayah .... [] Haya Aliya Zaki
Berdasarkan
kisah seorang teman, sosok tegar sang pemilik sepatu berdebu.
Catatan : tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan yang diselenggarakan Noura Books.
T_T
BalasHapus#very touchy
salam ku buat teman mb ya
semoga menang ya mb tulisannya =)
Makasih banyak apresiasinya, Zee. Aamiin. Sukses buatmu juga.:)
HapusNice sory^^ sekarang kabar ayahnya gimana mba???
BalasHapusoh ya, kalo berkenan mampir juga ya ke tulisan saya di sini
http://kucingmushy.blogspot.com/2012/05/insiden-sepatu-baru.html
Ayahnya kan meninggal. Ada disebutkan dalam cerita. Makasih sudah mampir. Insya Allah saya mampir ke blog mbak juga.
HapusAda keindahan dalam rasa perih. Mantap, Tabib. Ah, libur-libur dibikin nangis...
BalasHapusTerima kasih sudah mampir, Tacik. Kapan-kapan aku beritahu siapa pemilik sepatu berdebu itu.:) Maaf libur-libur sudah bikin sedih, ya.:D
Hapus