Pengujung tahun 2009, info lomba ini saya dapatkan dari Rini Nurul Badariah. Kebetulan Rini juga ikut. Penyelenggaranya penerbit Zaman.
Saya menghubungi Dellafirayama (penulis) via Facebook untuk bertanya asal ide yang dia dapat saat menulis buku ini dan lamanya menuliskan naskah. Data-data dari Della saya masukkan ke dalam resensi. Saya dan Rini meresensi buku yang sama. Alhamdulillah, resensi saya meraih Juara Favorit, sedangkan resensi Rini meraih Juara Utama. Berikut resensinya :
.
Judul buku : Tinta Cinta Sitti Hawwa
Penulis : Dellafirayama
Penerbit : Zaman
Cetakan : I, 2009
Hal : 167 hal
Maraknya
aliran keagamaan yang berkembang seperti Ahmadiyah, Lia Eden, salat dua
bahasa ala mantan petinju profesional Yusman Roy, Satrio Piningit,
dan lain-lain, menuai banyak kontroversi. Belum tuntas masalah aliran
yang satu, sudah muncul aliran lain. Aliran-aliran ini disinyalir
sebagai aliran sesat dan menyimpang. Rata-rata berujung pada
manipulasi uang dan eksploitasi seks. Sudah banyak masyarakat yang
menjadi korban. Belakangan diketahui kalau pemimpin aliran-aliran sesat
itu adalah orang-orang frustrasi, juga bermental penipu.
Di media cetak dan elektronik, ramai betul tersiar jejak para pengikut
aliran sesat. Kisah mereka terburai satu per satu dan menyisakan rona
pedih. Namun, entah mengapa, khilaf terus saja berulang. Mungkinkah
hal ini terjadi karena masyarakat kita kurang pengetahuan? Atau,
mungkinkah masyarakat kita sudah terlampau putus asa dengan kondisi
negeri dan rindu akan kehadiran Sang Penyelamat?
Dellafirayama (Della) mencoba mengangkat tema ini melalui novelnya,
Tinta Cinta Sitti Hawwa. Novel dibuka dengan jalinan kalimat indah
tentang asal muasal nenek moyang tokoh utama, Sitti Hawwa. Menelaahnya
ibarat membaca cerita dongeng kerajaan yang sangat digandrungi
anak-anak putri.
Hawwa adalah
muslimah keturunan tionghoa. Kulit putih pucat, mata sipit, rambut
hitam lurus, dan tubuh kurus tinggi menegaskan performanya sebagai
gadis oriental. Ketika masih SD, Malik (teman
sekolah Hawwa) selalu mengejek Hawwa karena mata sipitnya dan wajah
putih pucatnya itu. Hawwa sering menangis. Untung ada sang bunda.
Bunda selalu siap menghibur dan menjawab segala pertanyaan Hawwa
kecil. Seiring waktu berlalu, tak disangka, ternyata Malik memendam
cinta. Ketika mereka sama-sama kelas VI SD, Malik mengungkapkan
perasaannya yang telah tertular virus merah jambu, kepada Hawwa.
Kontan saja Hawwa menolak mentah-mentah cinta Malik karena terlanjur
sakit hati dengan sikap Malik selama ini.
Lalu, cerita melompat ketika Hawwa beranjak dewasa. Ia
terobsesi dengan dongeng yang selalu diceritakan sang bunda semasa ia
kecil. Hawwa paling suka kisah Nabi Adam. Ia membayangkan sesosok
pria bernama Adam diciptakan untuk dirinya yang bernama Sitti Hawwa,
persis kisah perjodohan Nabi Adam dan Hawwa yang telah diatur Tuhan di
surga. Hawwa sangat yakin, suatu saat, Adam-nya akan menghampirinya.
Dan, pertemuan tak terduga, terjadi begitu saja. Pertemuan Hawwa
dengan Adam. Sebenarnya, Adam bukanlah orang baru. Ia tetangga sebelah
rumah Hawwa dulu. Hanya sejenak bersama, lalu mereka terpisah di
antara dua benua. Adam menghabiskan masa kecilnya di Paris dan
melanjutkan studi S1 dan S2-nya di sana. Sosok Adam cerdas dan
kharismatik. Bagi Hawwa, pastilah Adam cinta sejati yang sengaja
dianugerahkan Tuhan untuknya.
Sayang seribu kali sayang, ternyata Adam telah berdua. Adam menikahi
wanita Prancis tapi belum dikaruniai anak. Sesungguhnya, Adam dan
Hawwa merasakan awan-awan cinta masih menyelimuti mereka. Adam
menyatakan keinginannya untuk bercerai dari istrinya dan membina biduk
rumah tangga dengan Hawwa. Hawwa pun didera bimbang.
Saat itu, muncullah Malik. Malik yang dulu, berbeda dengan Malik yang
sekarang. Ia tampan dan menarik. Malik tak lagi menjengkelkan. Ada
perasaan hangat menelusup ketika Hawwa bersamanya. Hawwa pun terbujuk
rayuan Malik mengikuti sebuah aliran. Aliran ini ingin mendirikan
negara Islam, di mana penduduknya harus beragama Islam dan taat pada
hukum Islam. Aliran yang aneh karena pengikutnya diharuskan mencuci
diri (mencuci dosa) dengan tebusan sejumlah uang dan setelah itu,
mereka diwajibkan berganti nama. Hawwa juga sangsi dengan penampilan
Ummi (istri Abi, ’kepala desa’ aliran itu) yang masih berusia belasan
tahun dan menemui tamu bukan muhrimnya dengan daster tipis, bukan
busana sopan, apalagi memakai kerudung. Namun, keraguan itu tertepis
setelah Hawwa beberapa kali mengikuti pengajian rutin aliran ini.
Semua jawaban atas pertanyaannya tentang negara Islam, terpenuhi oleh
pemimpin aliran.
Bab-bab berikutnya adalah bab-bab yang menggelontorkan
kisah Hawwa ketika menjadi pengikut aliran ini. Sang penulis, Della,
mendeskripsikannya dengan cantik dan sangat detail. Menurut Della,
semua aksi tentang aliran sesat dalam novel ini, ia tulis berdasarkan
survei pustaka dan tanya jawab langsung dengan anggota pengikut aliran
sesat tersebut. Tak heran, cerita ini terasa begitu ’hidup’. Perang
batin Hawwa terhadap prinsip-prinsip ganjil dalam aliran sesat,
menjadi semacam masukan cerdas untuk pembaca agar pembaca berpikir
lebih kritis dan tidak gampang termakan manisnya bujukan para pemimpin
aliran sesat. Argumen-argumen yang memancing kebijakan logika, mampu
menggiring pembaca kepada kewaspadaan karena aliran-aliran sesat ini
sebenarnya memang ada dan berbahaya.
Diceritakan selanjutnya, Hawwa memutuskan untuk keluar dari aliran
sesat setelah menemukan prinsip-prinsip ganjil, antara lain: muslim tak
perlu salat-puasa-naik haji, tak adanya makhluk gaib (seperti
malaikat dan jin) di muka bumi, dan kasus pencurian yang dilegalkan.
Akan tetapi, ternyata tidak semudah itu! Berbagai ancaman dan teror
mengerikan mengikutinya. Hawwa hampir menjadi korban penculikan,
keluarganya sempat celaka, dan yang paling parah, Andini (temannya
sesama pengikut aliran sesat), ditemukan tak bernyawa di sebuah danau!
Bagaimanakah akhir kisah cinta Adam dan Hawwa? Mungkinkah Malik masih
menyimpan rasa terhadap gadis bermata sipit yang selalu jadi bahan
ejekannya dulu? Mampukah Hawwa melepaskan diri dari jerat aliran sesat
ini? Sila mencari jawabnya di novel ini.
Diakui, berita atau data-data meresahkan tentang fenomena aliran
sesat di media cetak dan elektronik, kerap terkesan formal dan serius.
Sebagian masyarakat pasti kurang tertarik menyimak. Namun, bila
informasi-informasi itu dikemas dalam sebuah novel sastra, tentu akan
jadi lain ceritanya. Boleh dikata, melalui novel ini, Della telah
berhasil membuka mata dan hati pembaca tentang paham aliran sesat yang
kian merebak. Selain mencerahkan, petikan kisah cinta nan romantis
dan hamburan kalimat-kalimat puitis, bagai magnet yang menyedot segala
perhatian.
Dan, berbicara mengenai ending cerita, berarti berbicara tentang daya pikat lain dari novel ini. Ending ceritanya sungguh tak tertebak. Pembaca akan tertegun-tegun atau barang kali hening sejenak demi melepas keterkejutan. Ending
ini juga melambungkan harapan pembaca akan hadirnya novel sekuel Tinta
Cinta Sitti Hawwa. Semoga penulis dapat mewujudkannya dan kembali
dengan kisah yang lebih mencerahkan dan lebih mengentak pada pungkas
cerita.
Hanya, latar belakang keluarga Hawwa yang keturunan Tionghoa, mungkin
bisa dieksplorasi lebih dalam. Misalnya, penggambaran tentang desain
rumah, pakaian, alas kaki, model rambut, sampai kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku di masyarakat Tionghoa. Lalu, kilas balik masa kecil
Hawwa dan Adam terasa sekadar bumbu dan kurang menggigit. Padahal,
fase kilas balik ini termasuk poin penting yang menguatkan cerita.
Namun, terlepas dari itu semua, Tinta Cinta Sitti Hawwa, layak
menjemput hamparan pujian. [] Haya Aliya Zaki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak. Semoga tulisan ini bermanfaat. Mohon maaf, komentar Anonim akan saya hapus. Dilarang copy paste atau memindahkan isi blog. Jika hendak mengutip, harap mencantumkan sumber blog ini. Salam.